Tempo hari, saya bertukar kabar dengan seorang kawan. Dan
seperti biasa, rutinitas bertukar kabar dilanjut dengan curcol mengenai masalah
hidup saya saat ini.
Kawan saya heran mendengarnya, karena selama ini saya
sepertinya baik-baik saja. Bahkan tampak lebih baik dari sebelumnya. Dari mana
dia bisa menyimpulkan semua itu?
Media sosial.
Saat itu saya hanya tertawa getir dan menyahut: Baguslah,
berarti orang ngeliat gue bahagia.
Seusai mengobrol, saya lantas mengecek medsos saya.
Mengamati postingan-postingan saya bulan-bulan ini. Dan memang, kalau saya
memposisikan diri sebagai orang lain mungkin akan berkomentar sama seperti
kawan saya itu.
Dari situ saya sadar, kalau apa yang terlihat belum tentu
yang sebenarnya.
Saya kerap merasa iri dengan orang lain karena merasa hidup
mereka jauh lebih baik dari saya, tidak serumit hidup saya, tidak seberat hidup
saya. Dari mana saya menyimpulkan hal itu?
Tentunya dari media sosial.
Menyadari bahwa orang lain juga tidak tahu bagaimana hidup
saya yang sebenarnya dan hanya menyimpulkan dari media sosial (karena memang
media itu yang terlihat untuk umum); saya berpikir kalau mungkin saya pun
melakukan hal yang sama dalam melihat orang lain.
Kalau mungkin saja hidup mereka tidak semudah itu, tidak
sebahagia itu. Kalau mungkin saja hidup mereka juga serumit hidup saya, atau
mungkin lebih rumit. Kalau mungkin di luar sana ada juga yang iri dengan hidup
saya, memandang hidup saya jauh lebih mudah dibanding miliknya.
Jadi memang, apa yang terlihat belum tentu yang sebenarnya.
Lalu mengapa orang memposting hal-hal yang membuat mereka
tampak terlihat baik-baik saja dan bahagia?
Saya juga tidak tahu.
Tapi kalau saya sendiri, saya lebih senang jika orang
menganggap kalau hidup saya baik-baik saja dan bahagia.
Dan toh, seperti yang saya ucapkan juga pada kawan saya,
saya bukan lagi anak ABG yang kalau sedang ada masalah di-share ke berbagai
media sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar