Ibuku memberiku
nama Perempuan.
P-E-R-E-M-P-U-A-N.
Hanya sembilan
huruf itu. Tidak ada tambahan lagi. Perempuan.
Kata orang, nama
itu doa. Aku sedikit banyak membetulkan pernyataan itu. Mungkin sejak
mengandungku, ibuku sudah punya firasat kalau anaknya yang berjenis kelamin
perempuan akan tumbuh tidak terlalu seperti anak perempuan, alias agak tomboy.
Makanya mungkin ibuku menamaiku Perempuan, agar anaknya dapat kembali ke
‘asalnya’.
Ibuku hanya
tertawa ketika aku mengungkapkan hal itu.
“Puan, Ibu
ngasih kamu nama Perempuan, karena Ibu yakin kamu akan jadi perempuan sejati.
Yang tak bisa diremehkan begitu saja. Yang tahu kapan harus tegar, dan kapan
harus mengeluarkan airmata. Yang bagaimanapun kamu nanti, kamu adalah perempuan,
apapun yang terjadi. Seperti nama kamu.”
Ya.
Bagaimanapun, aku tetap perempuan.
Walaupun kata
teman-temanku, aku lebih pantas dipanggil ‘laki’. Mereka menganggap kalau nama
itu sangat jauh dari cerminan diriku. Aku sampai saat ini tidak mengerti mengapa
orang-orang melihatku sebagai gadis yang tomboy, padahal aku sudah sengaja
memanjangkan rambutku sampai punggung, apa itu kurang untuk terlihat tidak
tomboy? Aku hanya suka olahraga, tidak suka pakai rok, tidak suka dandan, dan agak
lebih berani dibanding anak perempuan lain. Tapi tetap saja mereka menganggapku
seperti itu.
“Perem… puan?”
Guru baru Bahasa
Indonesia itu mengerutkan kening saat mengabsen namaku.
“Dia pantesnya
dinamain Laki, Bu!” seru Doni yang duduk di pojok belakang. Seisi kelas tertawa.
Aku hanya
tersenyum masam.
“Perempuan?
Mengapa nama kamu Perempuan?” guru baru itu masih penasaran rupanya.
“Karena saya
perempuan, Bu,” jawabku enteng.
Teman-teman
sekelasku tertawa lagi.
Itulah yang
terjadi setiap pengabsenan dan pertemuan pertama. Selalu ada pertanyaan:
mengapa? Kok bisa? Dan itu yang sering membuatku kurang menyukai acara
perkenalan. Tapi setidakknya, nama itu yang membuatku cepat dikenal.
Perempuan.
.
“Eh, Laki! Mau
ngikut maen nggak lu?” Reza menepuk pundakku.
Aku masih
menekuni buku catatan matematikka yang sedang kusalin dari Anggi, teman
sebangkuku. “Maen apaan?”
“Basket lah.
Masa bekel?”
Aku mendongak
heran. “Lah, bukannya kemaren tuh bola gembos? Emang kita punya bola lagi?”
Seingatku, bola basket itu kemarin ditusuk paku dengan ganasnya sama Rommy. Dia
kesal sama anak SMK yang main curang saat tanding dengan SMA kami.
Reza mendekat,
membisiku telingaku. “Ada anak baru yang minta gabung, anak IPA dia. Gue suruh
aja dia bawa bola. Eh mau dianya. Anaknya culun gitu.”
Aku melirik sedikit.
Benar. Ada seorang cowok yang berdiri di depan kelasku sambil memeluk (bukan
memegang!) bola basket. Aku tertawa. “Asik nih, mangsa baru.”
Reza nyengir
lebar. “Makanya gue ngajak lu. Kan biasanya lu paling demen dah masalah
beginian.”
Aku bangkit dan
menjitak kepala Reza. “Sialan lu!”
“Puan,
matematikanya?” Tanya Anggi melihat aku berjalan keluar kelas.
Aku menoleh pada
Anggi dan memberikan senyum termanisku. “Anggi yang baik hati dan cantik
jelita, aku percayain catetan matematika itu ke kamu!”
Anggi manyun.
Aku terbahak.
“Kenapa?” Tanya
Reza.
“Itu, si Anggi.
Biasanya kalo gue nggak kelarin catetan gue, nanti dia yang lanjutin sampe
selesai.”
Reza
manggut-manggut. “Emang tadi lu udah nulis berapa halaman.”
“Baru nulis
DIFERENSIAL.”
“Baru judulnya??
Kebangetan lu, Laki!”
.
Aku menenggak
minumanku. Lumayan juga tuh anak baru.
“Siapa sih,
namanya?” aku menoleh ke Reza.
“Ardan. Kenapa
lu, naksir?”
Aku tertawa.
“Kece juga dia ternyata. Apalagi kalo kacamatanya dilepas.”
Reza menoyor
kepalaku. “Dasar, laki juga lu! Jeruk makan jeruk!”
Reza tertawa.
Aku terdiam. Sebegitunya, kah?
“Eh, kenapa lu?”
Reza menatapku heran.
“Emang gue kayak
laki-laki banget ya, Za?”
“Hah?”
“Emang gue kayak
laki-laki banget ya, Za?”
Reza tampak
hendak tertawa, tapi urung melihat wajah seriusku.
“Za?”
“Mmm… gimana,
ya? Bingung nih gue,” Reza menggaruk kepalanya.
“Ah elu! Emang
dari segi mananya sih gue keliatan begitu?”
Reza
memandangiku lekat-lekat.
Aku memegang
rambutku. “Nih Za, rambut gue aja panjang. Panjangan rambut gue dari si Anggi
juga. Gue juga nggak jelek-jelek amat, manis kan? Terus tangan gue nih, nggak
berotot! Lu liat!” aku menunjukkan lenganku.
“Apanya sih Za,
yang bikin keliatan kayak cowok?”
Reza tertawa
keras. Sangat keras.
.
“Puan, kamu
kemaren jadi maen basket?” Anggi bertanya lembut.
“He eh, Nggi.
Ternyata si anak baru itu jago juga! Lagaknya doang sok culun, eh taunya jago
banget three pointnya! Salut deh gue!”
Anggi hanya
tersenyum.
“Kenapa gitu,
Nggi? Tumben-tumbenan nanya-nanya basket.”
“Aku pengen
cerita sama kamu, Puan.”
“Lah, cerita
aja! Kan biasanya juga lu suka cerita aja, kan?”
Anggi tersenyum
(lagi). Ia mengeluarkan sebuah buku bersampul biru muda dari dalam tasnya. Lalu
menyodorkan padaku.
“Apaan nih?”
“Baca aja.”
Aku membuka buku
itu. Buku puisi rupanya. Anggi memang suka menulis puisi. Aku sebenarnya tidak
terlalu mengerti puisi, tapi setelah berteman dengan Anggi, aku jadi mengerti
sedikit-sedikit.
“Puisi-puisi
cinta ya, Nggi?”
Anggi mengangguk
pendek. Aku terus membaca. Sampai pada sebuah halaman, aku terhenti agak lama.
Puisi ini seperti inti dari puisi-puisi laainnya.
kepada muara
yang telah
kutemukan
berkisahlah ia
tentang segala
tentang hati
yang membiru
lalu ia mulai
membisikkan senandung
melodi lembut
yang mengalun
tenang
bersama
hangatnya mentari
segala elok,
segala indah
Aku menoleh ke
arah Anggi. “Lu lagi suka sama orang, Nggi?”
Anggi
mengangguk. Lalu mengalirlah semua yang selama ini ia pendam sendiri. Tentang
puisi-puisinya yang mewakilkan seluruh perasaanya. Tentang harapan-harapan yang
terajut dalam hatinya. Tentang mata orang yang disukainya, yang selalu dapat
membuatnya tersenyum. Tentang semuanya. Tentang cinta. Tentang orang itu.
“Siapa, nggi?”
Anggi tersenyum.
“Reza, Puan.”
.
Reza.
Aku mengulang
kata itu dalam hati.
Kenapa harus
Reza? Kenapa harus Anggi?
Aku mendribble
bolaku lebih keras. Aku bingung sekarang. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang
harus aku lakukan?
Aku menembak.
Tidak masuk. Menembak lagi. Tidak masuk lagi.
Aku memang tidak
bisa menulis puisi seperti Anggi. Tapi aku juga perempuan seperti Anggi. Yang
sama punya perasaan. Yang sama punya tingkat sensitivitas lebih tinggi sebagai
perempuan.
Yang sama
menyukai Reza.
Reza.
Kenapa harus
Reza? Kenapa harus Anggi?
Lalu aku harus
apa sekarang?
Aku menyukai
Reza sejak awal masuk sekolah ini. Dan sejak saat itu juga, kami sering main
basket bersama. Dia orang yang selalu membuatku tersenyum, bahkan tertawa. Dia
yang pertama mengulurkan tangan ketika aku jatuh ketika main basket. Orang yang
pertama mengucapkan selamat ulang tahun untukku, setiap tahunnya. Orang yang
pertama menjengukku setiap aku sakit. Orang yang pertama mengusap airmataku
saat kakakku meninggal tahun lalu. Orang yang pertama kali tertawa saat aku
bercerita ditembak anak kuliah.
Orang pertama
yang kusukai.
Reza.
Kenapa begini
jadinya?
Aku jadi
teringat perbincanganku dengan Reza waktu itu, tentang tipe cewek idamannya.
“Yang anggun,
lembut, sama keibuan. Kalo bisa sih, rambutnya panjang. Kalo bisa lagi, dia
jago balet, piano, sama nyanyi.”
“Gila lu, itu
sih kriteria Miss Indonesia kali!”
“Yee… boleh
dong, namanya idaman! Lagian kenapa lu, tau-tau nanya beginian? Pengen
ditaksir, ya?” Reza nyengir.
Aku tertawa.
“Gue kecakepan buat lu!”
“Ngaco lu!” Reza
terbahak.
“Hayoo, ngaku
aja! Kece kan, gue? Cakep, kan? Manis, kan?”
Reza masih
tertawa. “Gue nganggep lu kayak cowok, Laki!”
Aku mendribble
lagi. Keras. Lebih keras. Makin keras.
Apa aku sebegitu
miripnya dengan laki-laki?
Apa yang harus
aku lakukan? Mengapa begini?
Bagaimanapun,
aku perempuan. Yang tetap tertawa saat senang. Yang tetap menangis saat sedih.
Yang punya perasaan. Yang dapat merasakan sakit.
Aku merasa sakit
disini. Di hatiku. Sesak.
Bisakah, anggap
aku seperti perempuan?
“Kamu enak ya,
Puan,” ucap Anggi suatu hari.
“Hah? Kenapa?”
tanyaku heran.
“Kamu nggak terlalu
peduli sama masalah hati. Nggak perlu ngerasain nggak enaknya mendem perasaan,
atau ngerasain sakitnya kalo orang yang kita sukain sama sekali nggak nganggep
kita ada.”
“Gitu, ya?”
“Iya. Kamu nggak
terlalu sensitif kayak perempuan laen. Jadi nggak usah ngerasain hal-hal yang
nggak enak tentang hati.”
Siapa bilang,
Nggi? Siapa bilang?
Bagaimanapun,
aku perempuan. Perempuan mana yang tidak sensitif? Adakah, Nggi?
Bagaimanapun aku
perempuan. Punya perasaan. Dapat merasakan.
Tiba-tiba ada
yang merebut bola basketku. Menembak. Dan masuk.
Ardan.
Aku menatapnya
tajam.
Ardan mendekat,
menepuk pundakku.
“Perempuan
sejati itu, tahu kapan harus tegar, dan kapan harus mengeluarkan airmata.”
Aku menarik
nafas. Mataku mulai berkaca-kaca. Ardan membimbingku ke pinggir lapangan. Lalu
duduk.
Bisakah, anggap aku sebagai perempuan?
Ardan tersenyum,
mengusap bahuku. “Kamu perempuan. Selamanya perempuan.”
Aku menangis.
Langit mendung.
Perlahan, gerimis turun.
Kuningan, 4
Januari 2010
:at that wound
kayaknya, aku pernah baca cerpen ini,
BalasHapusversi asli tulisan tangan kamu, hehe
hehe ini emang aku salin tih, nulisnya pas tiga aliyah dan based on true story tapi sangat dilebay2in hahaha
BalasHapus